Tomin, pegawai lapangan di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) wilayah Kabupaten Langkat.. Penduduk di sekitar Bukit Lawang memanggilnya Romo. Panggilan itu tak ada hubungannya dengan sebutan tokoh agama tertentu. Konon panggilan Romo dimulai ketika ia bekerja di sebuah ecolodge di Bukit Lawang pada tahun 1990an. Jauh sebelum ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS, sekarang ASN, aparatur sipil negara) di Kementerian Kehutanan.
Saya mengenalnya sejak tahun 2006 ketika saya bekerja untuk UNESCO. Dalam kunjungan ke Bukit Lawang, dia lah yang mengatur akomodasi, memandu mengelilingi long-trail di Bukit Lawang TNGL untuk melihat orangutan sumatera, dan bercerita tentang banjir bandang yang pernah melanda.
Badannya gempal tapi langkahnya gesit. Cekatan dengan mengedepankan service oriented. Tutur katanya halus dengan dialek khas medan. Dia bisa berbahasa jawa, karo, dan inggris. Orangnya humoris, murah senyum, sabar, fleksibel dan mudah akrab dengan siapapun. Ia ikuti semua episode kehidupannya dengan gembira. Dilakoni apa adanya. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Semua sikap, perilaku, dan pengetahuannya itu merupakan modal terbesar baginya untuk menjalani hidupnya. Sebagai petugas lapangan, ia cukup menguasai permasalahan. Ia pun selalu berusaha melaksanakan perintah atasannya, nyaris tanpa keluhan. Selama berkawan dengannya, saya tak pernah melihatnya membangkang, adu mulut, apalagi adu jotos dengan rekan kerja atau mitra kerjanya. Ya, begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Rumahnya di sekitar Bukit Lawang, tugasnya pun lebih banyak di Bukit Lawang dan Bohorok. Ia pernah ditugaskan di Stabat dan Medan, yang secara ekonomi memberatkannya. Namun semua itu coba ia lakoni dengan kesabaran dan kebersahajaan. Ia terus bertahan selagi mampu bertahan. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Di sela-sela tugasnya sebagai PNS, ia menjadi travel adviser bagi tamu yang akan berkunjung ke Bukit Lawang, Tangkahan, dan sekitarnya. Ia merancang perjalanan mulai dari penjemputan di bandara, mengatur akomodasi, mengunjungi obyek wisata, hingga mengantar kembali ke bandara. Sangat tergorganisir. Lalu para pelancong yang terpuaskan itu merekomendasikan namanya kepada calon pelancong lain. Terjadilah getok tular di kalangan pelancong mancanegara. Walhasil, potensinya berkembang dalam balutan kesederhanaannya.
Dengan segala pencapaian itu, Tomin tetap rendah hati, tetap sederhana, tetap bersahaja, tak neko-neko. Ia selalu merendah dengan mengatakan “apalah awak ni…”. Kadang saya ngotot, “jangan kau bilang gitu, kawan. Nggak bersyukur itu namanya”. Ia pun istighfar, lalu kembali rendah hati dan tersenyum. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Suatu hari di bulan puasa, kami bertugas menemani kru TV dari Spanyol meliput TNGL. Saya berbagi kamar dengan Tomin di penginapan Wak Yun. Tomin setel jam wekernya supaya tak kesiangan. Hasilnya, kami membuka kelopak mata ketika semburat langit yang kelabu terlihat dari balik jendela. Usut punya usut, tomin meletakkan wekernya di dalam ransel yang sangat bagus meredam lengkingannya.
Dengan sendu Tomin bertanya, “gimana kang, puasa kita?”. Saya sulit memaknai tatapan matanya. Tapi saya jawab, “Lanjutlah, kan semalam udah niat”.
Akhirnya hanya tawa getir yang keluar dari kerongkongan. Kami pun saling menguatkan diri, sementara seluruh tim liputan tak wajib puasa. Pada hari itu, kami berbuka di tengah jalan tanah antara Tangkahan-Bukit Lawang. Tidak berbuka dengan yang manis, tapi air mineral yang dikhayalkan semanis madu.
Makin dikenang, makin banyak interaksi saya dan Tomin. Membuat jembatan sebagus, seaman, dan secepat mungkin agar Ratu Spanyol dapat melintas ke pos TNGL di seberang Sungai Bohorok. Membangun pondok restorasi Cinta Raja 1. Melakukan kajian sosio-antropologi di desa sekitar Resort Cinta Raja sebelum kegiatan restorasi. Memandu dan menemani tamu-tamu VIP. Semua berjalan lancar dengan kemampuannya berkomunikasi dan beradaptasi di lapangan. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Pertemuan terakhir saya dengan Tomin sekitar pertengahan tahun 2018 di Bogor. Saat itu ia mengantar anaknya, Aditya, yang diterima di Fakultas Kehutanan IPB. Dia menanyakan hotel sekitar kampus IPB untuk menginap selama menemani anaknya. Lalu rekomedasi tempat kos yang dekat kampus dengan biaya terjangkau.
Dasar rezeki orang sholeh. Dua hal serius itu segera teratasi. Urusan menginap, Tomin dan Aditya bersedia mangkal di kantor CLAN. Urusan kos, bisa ditunda karena semua mahasiswa baru tinggal di Asrama IPB. Untuk kemudahan wara-wiri, Tomin menolak dengan halus tawaran kendaraan. Alasannya “awak nggak tau jalan-jalan di Bogor, nanti nyasar pulak awak”.
Pada kesempatan ini pula, Tomin sempat bersilaturahmi dengan beberapa kawan di Jabotabek yang pernah penelitian di TNGL. Reuni mereka berlansung hingga malam hari, yang kadang saya tak sempat menunggunya. Namun bagi saya, semua itu adalah bukti kemampuannya berkawan dengan siapapun dan kapan pun. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.
Episode pertemanan kita memang tidak dapat dikatakan lama. Tapi saya menyerap pelajaran hidup yang Romo berikan dalam bentuk sikap, perilaku, dan tindakan. Saya pun berani bersaksi bahwa Romo Tomin yang saya kenal adalah muslim yang baik, orangtua yang baik, kawan yang baik dan selalu memberikan yang terbaik yang dapat ia berikan kepada siapapun.
Terima kasih Romo Tomin. Semoga Allah SWT melapangkan kuburmu, mengampuni kesalahan yang mungkin ada, menerima seluruh amal ibadahmu, dan memberikan tempat terbaik disisiNya. Aamiin.