In Memoriam: Romo Tomin yang Saya Kenal

Romo Tomin TNGL (Photo Profiel)

Tomin, pegawai lapangan di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) wilayah Kabupaten Langkat.. Penduduk di sekitar Bukit Lawang memanggilnya Romo. Panggilan itu tak ada hubungannya dengan sebutan tokoh agama tertentu. Konon panggilan Romo dimulai ketika ia bekerja di sebuah ecolodge di Bukit Lawang pada tahun 1990an. Jauh sebelum ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS, sekarang ASN, aparatur sipil negara) di Kementerian Kehutanan.

Saya mengenalnya sejak tahun 2006 ketika saya bekerja untuk UNESCO. Dalam kunjungan ke Bukit Lawang, dia lah yang mengatur akomodasi, memandu mengelilingi long-trail di Bukit Lawang TNGL untuk melihat orangutan sumatera, dan bercerita tentang banjir bandang yang pernah melanda.

Badannya gempal tapi langkahnya gesit. Cekatan dengan mengedepankan service oriented. Tutur katanya halus dengan dialek khas medan. Dia bisa berbahasa jawa, karo, dan inggris. Orangnya humoris, murah senyum, sabar, fleksibel dan mudah akrab dengan siapapun. Ia ikuti semua episode kehidupannya dengan gembira. Dilakoni apa adanya. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Semua sikap, perilaku, dan pengetahuannya itu merupakan modal terbesar baginya untuk menjalani hidupnya. Sebagai petugas lapangan, ia cukup menguasai permasalahan. Ia pun selalu berusaha melaksanakan perintah atasannya, nyaris tanpa keluhan. Selama berkawan dengannya, saya tak pernah melihatnya membangkang, adu mulut, apalagi adu jotos dengan rekan kerja atau mitra kerjanya. Ya, begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Rumahnya di sekitar Bukit Lawang, tugasnya pun lebih banyak di Bukit Lawang dan Bohorok. Ia pernah ditugaskan di Stabat dan Medan, yang secara ekonomi memberatkannya. Namun semua itu coba ia lakoni dengan kesabaran dan kebersahajaan. Ia terus bertahan selagi mampu bertahan.  Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Di sela-sela tugasnya sebagai PNS, ia menjadi travel adviser bagi tamu yang akan berkunjung ke Bukit Lawang, Tangkahan, dan sekitarnya. Ia merancang perjalanan mulai dari penjemputan di bandara, mengatur akomodasi, mengunjungi obyek wisata, hingga mengantar kembali ke bandara. Sangat tergorganisir. Lalu para pelancong yang terpuaskan itu merekomendasikan namanya kepada calon pelancong lain. Terjadilah getok tular di kalangan pelancong mancanegara. Walhasil, potensinya berkembang dalam balutan kesederhanaannya.

Dengan segala pencapaian itu, Tomin tetap rendah hati, tetap sederhana, tetap bersahaja, tak neko-neko. Ia selalu merendah dengan mengatakan “apalah awak ni…”. Kadang saya ngotot, “jangan kau bilang gitu, kawan. Nggak bersyukur itu namanya”. Ia pun istighfar, lalu kembali rendah hati dan tersenyum. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Suatu hari di bulan puasa, kami bertugas menemani kru TV dari Spanyol meliput TNGL. Saya berbagi kamar dengan Tomin di penginapan Wak Yun. Tomin setel jam wekernya supaya tak kesiangan. Hasilnya, kami membuka kelopak mata ketika semburat langit yang kelabu terlihat dari balik jendela. Usut punya usut, tomin meletakkan wekernya di dalam ransel yang sangat bagus meredam lengkingannya.

Dengan sendu Tomin bertanya, “gimana kang, puasa kita?”. Saya sulit memaknai tatapan matanya. Tapi saya jawab, “Lanjutlah, kan semalam udah niat”.

Akhirnya hanya tawa getir yang keluar dari kerongkongan. Kami pun saling menguatkan diri, sementara seluruh tim liputan tak wajib puasa. Pada hari itu, kami berbuka di tengah jalan tanah antara Tangkahan-Bukit Lawang. Tidak berbuka dengan yang manis, tapi air mineral yang dikhayalkan semanis madu.

Makin dikenang, makin banyak interaksi saya dan Tomin. Membuat jembatan sebagus, seaman, dan secepat mungkin agar Ratu Spanyol dapat melintas ke pos TNGL di seberang Sungai Bohorok. Membangun pondok restorasi Cinta Raja 1. Melakukan kajian sosio-antropologi di desa sekitar Resort Cinta Raja sebelum kegiatan restorasi. Memandu dan menemani tamu-tamu VIP. Semua berjalan lancar dengan kemampuannya berkomunikasi dan beradaptasi di lapangan. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Pertemuan terakhir saya dengan Tomin sekitar pertengahan tahun 2018 di Bogor. Saat itu ia mengantar anaknya, Aditya, yang diterima di Fakultas Kehutanan IPB. Dia menanyakan hotel sekitar kampus IPB untuk menginap selama menemani anaknya. Lalu rekomedasi tempat kos yang dekat kampus dengan biaya terjangkau.

Dasar rezeki orang sholeh. Dua hal serius itu segera teratasi. Urusan menginap, Tomin dan Aditya bersedia mangkal di kantor CLAN. Urusan kos, bisa ditunda karena semua mahasiswa baru tinggal di Asrama IPB. Untuk kemudahan wara-wiri, Tomin menolak dengan halus tawaran kendaraan. Alasannya “awak nggak tau jalan-jalan di Bogor, nanti nyasar pulak awak”.

Pada kesempatan ini pula, Tomin sempat bersilaturahmi dengan beberapa kawan di Jabotabek yang pernah penelitian di TNGL. Reuni mereka berlansung hingga malam hari, yang kadang saya tak sempat menunggunya. Namun bagi saya, semua itu adalah bukti kemampuannya berkawan dengan siapapun dan kapan pun. Begitulah Romo Tomin yang saya kenal.

Episode pertemanan kita memang tidak dapat dikatakan lama. Tapi saya menyerap pelajaran hidup yang Romo berikan dalam bentuk sikap, perilaku, dan tindakan. Saya pun berani bersaksi bahwa Romo Tomin yang saya kenal adalah muslim yang baik, orangtua yang baik, kawan yang baik dan selalu memberikan yang terbaik yang dapat ia berikan kepada siapapun.

Terima kasih Romo Tomin. Semoga Allah SWT melapangkan kuburmu, mengampuni kesalahan yang mungkin ada, menerima seluruh amal ibadahmu, dan memberikan tempat terbaik disisiNya. Aamiin.

Urus STNK Sendiri, Ada Biaya Tanpa Kwitansi

Ritual lima tahunan pemilik kendaraan bermotor adalah berkunjung ke kantor SAMSAT untuk perbaharui Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK, vehicle registration certificate) dan ganti plat nomor. Ritual lima tahunan ini belum dapat dilakukan secara online karena mengharuskan verifikasi nomer mesin dan rangka kendaraan.

Bagi yang tak punya waktu, ritual ini bisa diwakilkan ke biro jasa. Asal ada uang, tinggal duduk tenang, semua senang. Berhubung saya senang mengamati sistem layanan pemerintah, gak bisa duduk tenang dan tak punya uang untuk biro jasa, maka lakukan ritual ini sendiri. Selalu ada nuansa batin tersendiri. Kadang membuat takjub, nyengir, heran sambil garuk kepala, elus-elus dada, sampai jengkel yang berujung istighfar.

Lima tahun lalu saya tersesat di kantor Samsat Depok Tengah. Setelah 10 menit antri untuk gesek nomor mesin dan rangka, saya ditolak petugas gesek. Alasannya? Kecamatan yang tertera di KTP saya berada di wilayah kerja Samsat Cinere. Barulah saya tahu, ternyata Kota Depok punya dua kantor Samsat.

Tak mengulangi kesalahan yang sama, awal September 2020 ini saya langsung ke Samsat Cinere. Tepat jam 09.10 pagi, saya langsung masuk antrian untuk gesek nomer mesin dan rangka di kertas khusus yang disediakan. Pegawainya sangat cekatan. Sudah hapal lokasi gesek untuk berbagai jenis kendaraan. Hanya lima menit. Beres. Gratis, tapi ada pemilik kendaraan menyelipkan tips tanpa diminta.

Berbekal KTP, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), STNK dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahun lalu, saya ke tempat fotokopi. Dengan biaya Rp. 5.000, saya dapat 2 lembar kertas fotokopi dan satu map. Ada tiga kios fotokopi di dalam lingkungan kantor Samsat Cinere. Tampaknya cukup tinggi kebutuhan fotokopi.

Jika sehari rata-rata ada 200 orang pembayar PKB, dibutuhkan 400 lembar kertas atau nyaris satu rim kertas dan 200 map. Sebulan perlu 9600 kertas (19,2 rim kertas) dan 4800 map. Lalu dalam setahun habislah 115.200 kertas (230 rim kertas) dan 57.600 map. Itu HANYA satu kantor SAMSAT. Bayangkan, mau diapakah kertas-map sebanyak itu? Disimpan? Dikiloin? Recycle? Re-use? dimusnahkan, dibakar, dikubur?

Pasti ada alasan yang masuk akal mengapa tidak menggunakan metoda scanning dokumen daripada menghabiskan kertas yang bahan bakunya dari pohon? Misalnya alasan menggerakan roda perekonomian. Perkirakan saja biaya operasional dan keuntungan kios fotokopi yang didatangi rata-rata 300 orang per hari. Jika margin keuntungan Rp. 2000-3000 dari biaya fotokopi per orang, maka omset yang beredar sekitar Rp. 15-22,5 juta per bulan (25 hari). Lumayan kan? Dilema digital scanning dan manual fotokopi berhubungan dengan dilema ekonomi dan lingkungan (bahan baku dan limbah kertas). Lhooo…jadi ngelantur.

Lanjut ya. Map berisi dua lembar fotokopian, KTP asli, STNK asli, PKB asli, dan kertas hasil gesek diserahkan ke konter Pengecekan Fisik. Sekitar 50 orang berada di sekitar fasilitas ini. Tidak bergerombol dan umumnya mengenakan masker. Butuh waktu 20 menit, saya dipanggil untuk menerima kembali dokumen dalam map, plus satu lembar kertas hasil cek fisik. Untuk itu saya membayar Rp. 30 ribu. Biayanya sama untuk motor atau mobil. Tanpa kwitansi. Tanpa basa-basi.

Seorang kawan, sebut saja namanya Indra, yang baru melakukan pembaharuan STNK di salah satu SAMSAT di Jakarta, mengkonfirmasi adanya biaya itu. “awalnya Rp.30 ribu, tapi karena gesek nomer mesin dan rangka kendaraannya saya lakukan sendiri di rumah, jadi kena Rp. 40.000 deh,” katanya. Bayangkanlah lagi, berapa dana tanpa basa-basi yang terkumpul dalam sehari, seminggu, sebulan?

Setelah menerima dana basa-basi, petugas cek fisik mengarahkan saya ke gedung utama SAMSAT lantai 1 untuk menyerahkan seluruh dokumen di dalam map. Diawali pengecekan suhu di jidat, melewati kotak desinfektan, lalu masuk ke ruang utama. Walaupun saya sudah pernah dua kali ke Samsat Cinere, tetep aja masih auto-celingukan tak tahu arah.

Ruangan seluas kira-kira 500 m2. Bagian tengahnya berisi deretan kursi yang diduduki para pengantri kecuali kursi yang diberi tanda silang merah. Bagian tepi ruangan berupa konter-konter layanan dengan papan nama di atasnya. Suara dari loudspeaker dari beberapa konter silih berganti meneriakkan nama para pengantri. Riuh. Tumpang tindih.

Perilaku celingak-celinguk itu, membuat saya didatangi seorang perempuan berseragam rapi warna hijau muda. Menanyakan keperluan saya, lalu “lurus aja, paling pojok, serahkan dokumen di konter Pajak Progresif,” katanya ramah dengan senyum merekah. Hmm, hasil pelatihan yang sukses.

Sekitar jam 09.45 dokumen ditumpuk di depan konter target. Lalu menunggu panggilan. Berdiri atau duduk di kursi adalah pilihan yang tersedia. Secara berkala diumumkan penerapan protokol Covid19, jaga jarak dan tetap pakai masker. Panggilan pertama untuk verifikasi kendaraan dengan menunjukkan BPKB asli kepada petugas, lalu menunggu lagi.

Hanya setengah jam, panggilan itu datang untuk membayar seluruh biaya. Dalam kwitansi tercantum biaya Pajak kendaraan (PKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), biaya administrasi STNK dan administrasi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB). Dana SWDKLLJ ini ditampung dan dikelola Jasa Raharja. Semacam asuransi bagi korban kecelakaan, bukan bagi pengemudi kecuali pengemudi juga menjadi korban kecelakaan. Gimana mekanisme klaimnya? Ah itu urusan tersendiri.

Dalam ruang utama itu masih ramai. Ada yang berdiri, duduk, mojok, dan sebagian besar khusyuk menatap layar telpon genggam. Samsat Cinere berbaik hati menyediakan kotak untuk pengisian daya bagi yang “tuna powerbank”. Ada juga ruang laktasi. Lumayan lah ada extra service bagi yang membutuhkan.

Perlu setengah jam untuk menunggu hasil cetak kertas STNK dan PKB. Kedua kertas ini saya terima jam 10.52. Bagi pembayar pajak tahunan, urusan selesai dengan diterimanya STNK baru, lembar PKB, dan KTP. Untuk ritual lima tahunan, masih ada satu tahap lagi: mencetak plat nomor kendaraan (TNKB). Lokasinya bersebelahan dengan konter cek fisik kendaraan. Kembali ke titik start. Cukup serahkan kertas STNK baru dan PKB di konter cetak plat, lalu menunggu lagi. Sudah hampir tengah hari, masih saja ada warga yang datang untuk cek fisik kendaraan.

Ada yang menarik perhatian saya. Di jendela konter cetak plat (TNKB), terdapat stiker ISO 9001:2008. Jaminan proses cetak plat selesai dalam 20 menit. Hasilnya tak mengecewakan. Hanya 15 menit, saya sudah dipanggil untuk menerima plat nomor yang baru. Resminya tak ada biaya lagi. Tanpa biaya lagi. Keren. Tapiii, sambil menyerahkan plat nomor, petugasnya berbisik-bisik kepada pemilik kendaraan yang berujung salam tempel. Sepertinya aktivitas bisik-bisik ini selektif, karena tidak semuanya diberi bisik-bisik.

Kenapa sertifikasi ISO tidak untuk seluruh proses ya? Saya diberitahu kawan yang “hobinya jual beli mobil”, ada Samsat di Jakarta yang bersertifikasi ISO 9001, jaminan beres dalam satu jam untuk proses pajak tahunan. Dia sukses dengan waktu 59 menit. Entah apa yang terjadi jika melampaui batas waktu, mungkin dapat gelas cantik dari Samsat?

Untuk layanan ritual bayar pajak tahunan (PKB), tampaknya Samsat di berbagai daerah patut diacungi jempol. Ada sejumlah inovasi dengan sistem on-line, samsat keliling, bahkan drive through. Pengalaman Yuli, kawan saya, “sejak menyerahkan berkas sampai kelar, kurang dari 15 menit untuk bayar pajak tahunan di samsat keliling. Tapi kalau di Kantor Samsat sekitar satu jam lah“. Keren kan? Beginilah seharusnya layanan bagi warga yang taat bayar pajak.

Untuk kasus saya, total waktu yang diperlukan sejak cek fisik hingga menerima plat nomor adalah 1 jam 50 menit. Itu kendaraan dalam kondisi normal.  Jika ada tambahan proses balik nama, modifikasi fisik kendaraan, nomor pilihan (plat nomor cantik), pajak progresif, dll., mungkin butuh waktu dan biaya tambahan. Jadi kalau mau urus sendiri ritual pajak lima tahunan, sediakanlah waktu antara 1,5-2,5 jam.

Begitulah. Kali ini saya mengharuskan diri untuk menuliskannya supaya lima tahun lagi saya tidak lupa prosesnya. Syukur-syukur bisa menjadi pembanding ketika kawan-kawan mengurus hal yang sama. Good luck gaesss…

Hembo Denan, Petualang Tangkoko

Fridenan Kakauhe nama lengkapnya. Semua orang memanggilnya Hembo, panggilan untuk anak bontot di suku Sangir. Hembo Denan, lelaki gagah yang lugas. Cerdas. Cerdik. Cekatan. Berani dan Nekat. Dia rajin membaca berita sebagai modal beropini, mejadikanya lawan bicara yang tangguh. Senyum dan tawanya selalu menghiasi wajahnya walau topik obrolan yang emosional sekalipun.

HemboDenan 20200721 13.03.20

Fridenan Kakauhe tahun 2011. Photo by Esli Kakauhe

Hembo Denan, pegawai negeri yang difungsikan sebagai polisi hutan (polhut) BKSDA Sulawesi Utara. Di masa hidupnya, ia lebih banyak mangkal di resort Batuputih, Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Bitung. Ia merintis karirnya dari golongan I hingga ke jenjang puncak Golongan II. Itu pun setelah lulus ujian persamaan SMP/SMA. Saya tidak tahu apakah saat pensiun ia berhasil menembus golongan III.

Saya mulai mengenalnya pada Maret 1993. Sejak itu ia membantu saya melakukan penelitian rangkong sulawesi hingga 1994 di Tangkoko. Cepat sekali dia memahami arahan untuk mengumpulkan data. Nyaris tidak pernah ada keluhan terhadapnya. Tak perlu heran, karena ia salah satu asisten peneliti muda saat John dan Cathy MacKinnon melakukan penelitan di Tangkoko tahun 1979-1980an.

Kecerdasan dan kecerdikannya juga terbukti, sebagaimana ia ceritakan ke saya di waktu senggang. Suatu hari di awal tahun 1990an, ia mengantar turis asing ke dalam hutan Tangkoko. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, Hembo memandu. Mengikuti insting dan pengalamannya keluar masuk hutan, ia jelaskan soal burung, tarsius, monyet yaki, dan satwa lain yang ditemui kepada tamunya. Tak ragu ia menyebutkan nama ilmiah dari burung-burung yang tampak di teropongnya. Ya, Hembo Denan adalah salah satu pengamat burung andalan di Tangkoko, selain Yunus Masala.

Sebelum kembali ke penginapan di desa Batuputih, mereka istirahat di Pos 3 yang terletak di sisi timur Laut Sulawesi. Disitulah, tamu asingnya menyampaikan kekaguman atas pengetahuan Hembo Denan. Kaget campur malu yang ia rasakan karena tamu asingnya fasih bicara bahasa Indonesia.

Setelah basa-basi canda tawa, si tamu asingnya menawarkan pelatihan. Tidak tanggung-tanggung, kursus internasional mengenai keanekaragaman hayati yang dikelola Smithsonian Institution. Hembo pikir orang ini becanda, tapi untuk menghormati tamunya, Hembo meng-iya-kan dan tak ambil pusing.

Belakangan ia tahu, tamu asing itu bernama Marty Fujita, direktur The Nature Conservancy Indonesia Program, sebuah LSM internasional asal Amerika. Ternyata bu Marty serius. Ia menyurati Kepala BKSDA Sulawesi Utara untuk menugaskan Hembo Denan mengikut kursus di Kualalumpur Malaysia. Ketika dipanggil pimpinannya, Hembo tertegun. Ia menyadari tidak punya modal apa pun. Paspor tidak punya. Pendidikan tamatan Sekolah Dasar. Bahasa inggris pas-pasan.

Dengan modal nekat, ia menemui dan minta tolong Graham Usher, manajer program NRM di Manado. Graham yang fasih bahasa Indonesia dan Sunda tertawa mendengarnya. Tapi ia berikan dukungan penuh hingga berangkatlah Denan ke Malaysia. Begitulah nasib Hembo Denan. Mungkin hingga kini, dialah satu-satunya pegawai kehutanan lulusan SD yang dapat mengikuti kursus Smithsonian yang sangat komprehensif.

Keberanian dan militansinya di masa muda sulit ditandingi dimasa kini. Bersama Yunus Masala, ia sering bahu membahu berpatroli di Tangkoko untuk membersihkan jerat (dudeso). Bahkan mengejar pemburu dengan bermodalkan golok. Ketika menyadari peluru lebih cepat daripada lemparan golok, mereka berhenti mengejar dengan saling pandang. Yang penting pemburunya kabur, katanya menjelaskan.

Setahu saya, Hembo tak pernah merokok dan tak suka minum cap tikus apalagi mabuk di jalanan. Kalau main bola, selalu ingin menjadi penyerang. Kalau berkelahi, tak suka keroyokan tapi tak takut dikeroyok. Dia lebih suka datangi orang yang bermasalah itu sendirian. Dengan menenteng sebatang rotan muda yang masih berduri, dia tantang dan bertarung. Heroik sekali masa mudanya.

Ketika empat rekan kerjanya di Tangkoko membangun homestay, ia memilih untuk tetap menjadi pemandu wisata di sela tugasnya sebagai ranger. Ketika para pemandu wisata berlomba-lomba mencari tamu, dia cenderung menunggu gilirannya. Sayangnya, menjelang pensiun ia tersandung masalah hukum akibat ketidaktahuannya. Namun ia telah tebus dengan tabah selama beberapa bulan di hotel prodeo.

Sejak itu, saya kehilangan kontak dengan Hembo. Dan kini saya kehilangan untuk selama-lamanya. Mohon maaf Hembo. Selamat jalan menuju keabadian. I am proud of you, and always be.

Bogor, 21 Juli 2020

DAPUR SEJARAH: Museum Nusantara Sejarah Alam Indonesia

A. Apriyani & T. Bayuana, keduanya telah lulus dari jurusan Kehutanan, SMK Muhammadiyah Satu, Rangkas Bitung, dengan kompetensi ekowisata dan inventarisasi keanekaragaman hayati. Berikut ini hasil tulisan mereka dalam  proses belajarnya di Conservation and Legal Assistance Network (CLAN)-Bogor.

 

 

Beberapa waktu lalu, kami mengunjungi kota Bogor, menghampiri museum yang didalamnya terdapat banyak koleksi tanaman dari seluruh daerah Indonesia, dengan berbagai manfaatnya. Seketika kami terdiam, Karena uniknya seperti : bawang, cabe, tomat, dll. Ya… seperti kebiasaan kami untuk membuat bumbu makanan ada di dalam museum ini, sebuah museum yang mencerminkan interaksi manusia  dengan alam dari masa ke masa. Museum ini adalah Museum Nusantara Sejarah Alam Indonesia.

Awalnya museum ini bernama Museum Etnabotani, sejak 31 Agustus 2016, Museum tersebut bersalin menjadi Museum Nusantara Sejarah Alam Indonesia (MUNSAI). Museum ini terletak di Jl.Ir.H.Juanda 22-24 pusat penelitian Biologi-LIPI, Paledang, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat. Tepatnya berhadapan dengan Istana Bogor dan Kantor Pos terbesar di Bogor.

Kita hanya perlu membayar karcis Rp.5000/orang untuk dapat menelusuri isi museum tersebut. Ke depannya, Museum yang merupakan museum alam satu-satunya di Indonesia akan bekerja sama dengan museum-museum lain di Dunia. Pembangunan gedung setinggi 5 lantai dilengkapi dengan area parkir yang luas, akan dilakukan secara bertahap dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2019. Saat ini hanya 2 lantai saja yang di fungsikan untuk diisi koleksi keanekaragaman hayati dari setiap Daerah di Indonesia dengan jumlah 1.840 tanaman.

Peta lokasi Kota Bogor tempo dulu dan sekaran. By : Tika Bayuana

Tentunya ruang pertama yang kami telusuri yaitu lantai 1, terdapat berbagai ruangan yang dapat kita lihat mulai dari lobi yang menampilkan foto-foto Bogor tempo dulu dan masa kini, serta keanekaragaman hayati di Indonesia dan pemanfaatannya, herbarium tanaman tua, rempah-rempah, sejarah rempah, bahan obat dan kosmetik, dan ruang gaharu, dan masih banyak lagi.

 

Herbarium Tua (1898)
Lada (Piper nigrum L)
By : Evi Yunita

Pemanfaatan yang sangat luar biasa, Misalnya kami melihat kerajinan tangan dari anyaman rotan, lontar, bambu dan anyaman kain, simplisia tanaman obat, pewarna alami dari serat alam dan masih banyak lagi.

Alat Tenun Kayu, By : Anggun Apriyani

Walau dengan rasa sedikit lelah, dengan semangat ingin tahu, kami berlanjut naik ke lantai 2, tentunya dengan menggunakan tangga ya… nah di lantai 2 kita dapat melihat flora purba, alat rumah tangga tradisional, berbagai macam kayu penting, alat kerja tradisional, pakaian tradisional, mainan-mainan tradisonal anak yang terbuat dari tumbuhan, alat music tradisional, minuman dan makanan tradisional, peralatan pertanian, pangan nusantara, serta berbagai keanekanragaman hayati, yang telah berpadu dengan budaya dari masing-masing Daerah di Indonesia.

Melihat bentuk dari peralatan tradisional, saya rasa tidak terlalu sulit, kita pun dapat membuatnya dengan berbagai variasi yang kita inginkan, ya jika hanya untuk koleksi pribadi saja ya.

Nah.. kita bisa mengetahui bahwasanya zaman dahulu sebelum munculnya era modern seperti sekarang ini, semua kebutuhan hidup, mereka manfaatkan dari alam. Sungguh ini hal yang luar biasa bukan? Karena kehidupan mereka tidak tertekan dengan halnya per ekonomian, yang sering kita lihat di berita menjadi masalah masyarakat sekarang- sekarang ini. Mereka hanya perlu rajin dan ulet untuk berkreasi dari alam, karena dari situ mereka dapat menjamin kehidupan dengan makmur. Jika saja tradisi itu tidak punah sampai dini, mungkin kita akan tahu bagaimana banyaknya manfaat alam untuk kehidupan. Ya.. mungkin ada beberapa factor tradisi itu ditinggalkan, salah satunya seiring perkembangan manusia, mereka berfikir untuk membuat sesuatu dengan hal yang lebih instan/mudah.

Tentunya didirikan nya museum ini, kita dapat menyadarkan diri begitu berharganya alam untuk kehidupan kita semua, dari sini kita dapat mengubah kebiasan kita untuk lebih giat menjaga alam, agar ekosistem antara alam dan kita saling menguntungkan, ibarat dari kita oleh kita untuk kita. Misalnya kita menanam bambu, kita dapat gunakan bambunya untuk keterampilan kita dalam membuat mainan, anyaman, atau kerajinan lain nya. Yang mungkin dapat kita ciptakan sendiri dari kreaktivitas dalam diri kita. Daunya kita dapat pakai untuk obat. Tahukah kamu bahwasannya daun bambu, dapat di manfaatkan sebagai obat darah tinggi? atau mungkin dapat menjadi obat lainnya. Tunasnya kita dapat gunakan sebagai bahan makanan, dan begitu banyak lagi manfaatnya.

Coba kita renungi dari satu jenis tanaman saja sudah banyak manfaatnya, lalu bagaimana jika kita manfaatkan jenis tanaman lebih banyak lagi? Hanya tinggal dari kitanya saja yang mulai merawat dan menjaga alam dengan baik. Bisa saja dengan mengamati dan mencari tahu kita dapat menemukan kegunaan jenis tanaman yang belum orang ketahui, sehingga kitalah orang yang pertama kali menemukan hasil manfaat tanaman tersebut, luar biasa bukan?. Ayoo rawat dan pelajari alam mu!!! Banyak tahu manfaat alam, pasti lebih menyenangkan.

 

Tak Disangka Gedung Tua Itu….

NisaEvi

Evi Yunita dan Siti Anisa, telah lulus dari jurusan Kehutanan, SMK Muhammadiyah Satu, Rangkas Bitung, dengan kompetensi ekowisata dan inventarisasi keanekaragaman hayati. Berikut ini hasil tulisan dalam  proses belajarnya di CLAN-Bogor.

Seringkali kami melewati Jl. Ir.H. Djuanda No.9, Paledang, Bogor Tengah, Kota Bogor Jawa Barat yang ramai lalu lintasnya, dan tidak pernah menyangka bahwa ada bangunan tua yang memiliki nilai sejarah dan pengetahuan yang tak terhingga. Ternyata…salah satu bangunan itu adalah Museum Zoologi yang tidak boleh kita lewatkan begitu saja. Wisata Pendidikan yang terletak di sisi Kebun Raya Bogor ini memiliki koleksi yang berkaitan dengan dunia satwa seperti berbagai spesimen yang diawetkan maupun fosil hewan yang diambil dari setiap daerah.

nisa-mzbAwal berdirinya museum Zoologi Bogor merupakan Museum dengan nama Landbouw Zoologisch dibangun diatas tanah seluas 1.500 m2 didirikan pada tahun 1894 gagasan dari G. Ckoningsberger ahli botani berkebangsaan Jerman yang berkunjung ke Bogor pada bulan Agustus 1894 dan diresmikan pada akhir Agustus 1901. Pada tahun 1906 namanya berubah menjadi Zoologisch Museum and Wekeplaats dan pada tahun 1910 berubah menjadi Zoologisch Meseum En Laboratorium, antara tahun 1945-1947 tempat ini dikenal dengan Museum Zoologicum Bogorience dan Sekarang menjadi Museum Zoologi Bogor.

Kami tiba di depan pintu museum pada jam 9 pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda kapan pintu museum akan dibuka. Akhirnya kami nekat masuk melalui pintu gerbang Kebun Raya Bogor. Kita dikenai biaya Rp.15,000/orang untuk menelusuri jalan-jalan beraspal dan gang-gang kecil di seluruh di Kebun Raya Bogor, termasuk Museum Zoologi. Dari pintu gerbang itu, kita hanya memerlukan waktu 5 menit untuk berjalan sekitar 300m menuju bagian belakang museum. Kita tidak akan nyasar, karena tanda arah menuju Museum tersedia cukup banyak.

Dari pintu masuk Museum Zoologi terdapat rangka Anoa (Bubalus depressicornis), Tapir (Tapirus indicus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Tepat pada rangka tersebut terdapat tanda arah yang menunjukan Ruang burung di sebelah kiri dan Ruang mamalia di sebelah kanan.

Ruang burung terdapat banyak Koleksi burung-burung yang begitu indah dengan bulu-bulunya yang belum tentu dapat kita jumpai di kebun binatang, misalnya: Burung-burung Cendrawasih, tercatat sekitar 1.100 jenis burung berasal dari berbagai wilayah Indonesia, ada pula jenis-jenis Elang seperti Elang ular (Spilornis cheela) yang sering kita jumpai di sekitar Rangkas Bitung.

nisa-mamalia

Spesimen Bekantan (Nasalis larvatus) satwa endemik dari Kalimantan, By: Evi Yunita.

Ruang mamalia memamerkan sekitar 650 hewan-hewan menyusui, misalnya Bekantan (Nasalis larvatus) sejenis primata hidung panjang yang endemik dari Pulau Kalimantan yang di jadikan simbol Dunia Fantasi Ancol. Tak hanya Kera, Beruang (Helarctos malayanus, Malay Bear) yang biasa hidup di hutan yang lebat bisa kita jumpai di sini. Landak (Hystrix javanica) sejenis hewan pengerat yang di cirikan dengan rambut berdurinya yang runcing dan panjang. Ada lagi yang tidak kalah menarik yaitu: Trenggiling (Manis javanica), makhluk imut yang dapat menggulung diri seperti bola.

Ruang reptilia ruangan ini terdapat hewan reptil seperti: Penyu (Testudines), Ular

nisa penyu

Koleksi Spesimen Penyu (Testudines), By: Evi Yunita

berbisa diantaranya, Ular berkaki (Lygosoma quadrupes), Ular tikus (Elaphae radiata) yang panjangnya mencapai 2m dan Kepiting Raksasa Jepang (Macroceira kaempferi). Dari ruang reptil ini kita dapat menelusuri lorong untuk melihat ruang serangga dengan koleksi berbagai jenis kupu-kupu (Rhopolocarea) dan kumbang (Caleoptera). Lalu di ruangan terbuka terdapat tulang-tulang ikan Paus Biru Raksasa (Balaenoptera musculus) yang merupakan koleksi terbesar di Museum Zoologi Bogor. Paus biru ini ditemukan terdampar dalam keadaan mati di Pameungpeuk, Priangan Selatan pada Desember 1916 dengan panjang 27,25 m dan berat  119.000 kg.

Museum Zoologi Bogor adalah salah satu tempat yang sangat menarik dan memberi efek baik terhadap pengunjung dengan memamerkan koleksi-koleksi hewan yang berada di seluruh daerah Indonesia, sebenarnya masih banyak yang belum kami paparkan. Museum ini cocok untuk teman-teman yang ingin mengenal dan melihat wujud penampakan satwa-satwa khas Indonesia. Gedung tua yang menyeramkan dari luar, ternyata di dalamnya menyimpan pengetahuan yang tidak kami dapatkan di ruang sekolah. Nggak percaya? Coba deeh…