Ketika penulis kesurupan arwah Koorders


Saat menjabat Kepala Bidang Wilayah III, Balai Besar KSDA Jawa Barat, Pandji Yudistira heran mengapa di Ciamis ada Cagar Alam (CA) Koorders? Padahal  sepengetahuannya tempat itu bernama CA Nusa Gede Panjalu. Siapa dan apa sih Koorders itu? Ia bertanya kesana-kemari soal misteri Koorders?

Jawaban pertama didapat dari peneliti Litbang Kehutanan yang memberitahukannya bahwa CA Koorders itu nama lain dari CA Nusa Gede. “Berawal dari situ,  saya mulai berburu informasi mengenai Koorders sambil mengisi waktu”, kata pria yang pensiun sejak 2009.

Ia jelajahi perpustakaan PHKA, Pustlibang Kehutanan, Kebun Raya Bogor, dan Pertanian.  Satu per satu, ia koleksi jurnal-jurnal ilmiah tua seperti Tectona, De Tropische, Bulletin du Jardin Botanique dan dokumen-dokumen hukum jaman Kolonial Belanda yang terkait perlindungan alam.

Ia meminta bantuan koleganya menerjemahkan literature/dokumen berbahasa Belanda dan Jerman itu. Selama tiga tahun, ia larut dengan tumpukan dokumen tua sehingga sepertinya arwah Koorders merasuki alam pikirannya. Ia nyaris hafal di luar kepala segala hal terkait Koorders, seolah-olah ia hidup sejaman dengan Koorders.

sangpeloporJerih payahnya itu diterbitkan Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan dalam Buku “Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H.Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di  Indonesia” (2012). Total halamannya xxi + 291 halaman, mencakup VII bab, 40 gambar hitam-putih,  dan 17 lampiran.

Sejarah hidup Koorders, karir dan penelitiannya dituturkan di bab II dan III, plus bab IV berupa catatan obituary delapan ilmuwan untuk mengenang wafatnya Koorders. Bagian lain dari buku ini merupakan pelengkap bagi peminat sejarah dan taksonomi tumbuhan.

Seluruh isi Bab I (prolog konservasi alam, hlm. 3-9) “kembar identik” dengan Bab I (hlm. 7-15) buku “Berkaca di Cermin Retak” karya Wiratno dkk (2004). Mungkin ada alasan tersendiri dari editor dan penulisnya, tapi cara sitasinya kurang tepat karena berkesan copy & paste. Terlepas dari itu, pengantar di Bab I itu memang perlu diketahui pembaca.

Sijfret Hendrik Koorders lahir di Bandung, 29 Nopember 1863. Dibesarkan di Haarlem Belanda, lalu belajar ilmu kehutanan di Berlin. Tahun 1884, ia ditugaskan ke Jawa sebagai pejabat kehutanan, tapi lebih minat dengan tumbuh-tumbuhan.

Antara 1884-1918, Koorders melakukan banyak ekspedisi di Jawa, sebagian Sumatera dan Minahasa. Dari ekspedisi itu, ia mengoleks 40.000 spesimen herbarium, lalu ia menulis 240 artikel ilmiah dan mendeskripsikan 596 jenis tumbuhan dengan kode “kds”. Jika kita membaca nama ilmiah “Pandanus bantamensin Kds”, artinya Koorders adalah orang pertama yang mendeskripsikan Pandanus bantamensin melalui publikasi ilmiah. Disela-sela kerja dan penelitiannya, ia selesaikan disertasi doktornya tahun 1897 di bidang botani dari Universitas Bonn, Jerman.

Bagi seorang peneliti, mendeskripsikan jenis baru adalah prestasi dan kebanggaan karena prosesnya yang rumit. Sebagai penghormatan atas prestasinya, 25 ilmuwan mengabadikan Koorders menjadi nama marga tumbuhan (Koordersiodendron dan Koordersiochloa), 37 jenis dan 2 variasi jenis tumbuhan. Kalau sekarang, asal bisa bayar ke penemunya, nama kita bisa diabadikan sebagai nama jenis. Tapi dulu, pemberian nama merupakan penghargaan atas prestasi seseorang.

Selain di bidang botani, Koorders juga membidani lahirnya Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912. Perkumpulan itu dibentuk karena prihatin atas kerusakan hutan yang ada pada saat itu. Koorders menjadi ketua perkumpulan hingga meninggal tahun 1919. Saya pikir, Perkumpulan ini adalah LSM pertama di bidang konservasi di Indonesia, walaupun dari  19 anggota hanya satu pribumi asli, Pangeran Poerbo Atmodjo (Bupati van Kutohardjo).

Dalam kepemimpinannya, Perkumpulan ini berhasil mendirikan dan mengelola Monumen Alam (MA) Depok (1913), MA Rumphius di Ambon (1913), mengajukan sejumlah kawasan menjadi monumen alam, dan mengusulkan Ordonansi Monumen Alam (1916) kepada pemerintah. Natuurmonumenten Ordonantie itu akhirnya terbit tahun 1916, disusul penunjukan 55 monumen alam (1919), 7 monumen alam (1920), dan 6 monumen alam (1921).

Koorders meninggal tanggal 16 Nopember 1919 akibat penyakit paru-paru. Ia dimakamkan di Cikini (Weltervreden). Sayangnya, ketika ditanyakan ke Dinas Pemakaman DKI soal lokasi makam Koorders, jawabannya”maaf, nama itu gak ada dalam daftar kami”. Normal ya?

Situ LengkongWafatnya Koorders, pejabat kehutanan yang ahli botani itu mendorong 11 ilmuwan ternama seperti Alfred Russel Wallace, menuliskan kenangannya dalam jurnal ilmiah Tectona dan Bulletin du Jardin Botanique. Sebagai penghormatan atas jasanya, Perkumpulan mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama MA Pulau Nusa Gede di Danau Panjalu (sekarang Situ Lengkong) menjadi Pulau Koorders dan MA Koorders. Usulan itu disetujui pada tahun 1921.

Terjawablah misteri Koorders.  Dengan semangat 45, Pandji menggoreskan penanya di atas kertas, dengan tulisan sambung gaya orang jaman dulu. Koleganya membantu menuliskannya di komputer, men-scan peta dan foto-foto lama dari berbagai literatur.

Satu-satunya catatan saya adalah beberapa kesalahan kecil yang tidak perlu pada buku sejarah. Misalnya, di sampul depan dan judul bab II tertulis Kooders, yang seharusnya Koorders. Salah penulisan tahun misalnya 1897-1999 (hal.26), 1921-1919 (hal.48), daftar karya tulis Koorders melompat dari nomor 77 ke 224 (hal.278). Pengulangan materi Prasasti Malang di halaman 50 dan 192 juga rasanya tidak perlu. Seharusnya ini tugas editor ketika membaca dummynya.

Bagaimanapun, Pandji telah berhasil menghidupkan kembali Koorders, sebagai pelopor perlindungan alam di Indonesia, mengingatkan kembali lintasan sejarah perlindungan alam di Indonesia. Yang membuat saya kagum sekaligus malu, karena dengan tulisan tangan beliau menghasilkan buku, sedangkan saya hanya bisa membaca dan mengomentari. Salam hormat saya pada H.Pandji Yudistira.

Note: Buku ini tidak tersedia di toko buku, jadi harus minta ke Direktorat Konservasi Kawasan & Bina Hutan Lindung, PHKA, Gedung 7 Lantai 7, Manggala Wanabakti, Kementerian Kehutanan

7 thoughts on “Ketika penulis kesurupan arwah Koorders

  1. Pada akhirnya dari buku yang berjudul ‘Teysmannia’ karya Sijfert Hendrik Koorders yang diterbitkan tahun 1910, Tim Ekspedisi pencarian tanaman bambu jenis Bambusa Cornuta Munro (Pring Embong) berhasil menemukan bambu tersebut di daerah Turen-Malang berdasarkan buku karangan Kooders di atas. Padahal jenis bambu tersebut di klaim telah punah dan tidak bisa lagi ditemukan di seluruh dunia. Ini link-nya pak: http://suryamalang.tribunnews.com/2015/03/10/diklaim-punah-di-dunia-bupati-bertekad-tanam-pring-embong-di-turen.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Jumat pagi ini, membawa saya kesempatan menengok blog-nya Kang Suer.Teriam aksih atas saran dan kritiknya untuk Buku Sang pelopor; saya sejak 2010 mendorong penerbitan buku2 yang ditulis oleh orang-orang Indonesia, dan dibiayai oleh APBN. Ini, kata Nurman, gerakan literatur. Suatu gerakan yang didisain untuk mendorong pekerja konservasi mencatat hasil kerjanya, persis seperti dicontohkan Koorders. Salam dan sukses untuk masa 100 tahun ke depan Konservasi Alam “rasa” Indonesia… (Wiratno)

    Suka

    • Terima kasih sudah sempat menengok pak. Setuju banget sama gerakan itu, di bawah tanah maupun di atas tanah, terang2an atau gelap2an, utk tujuan baik maka kita wajib dukung deh

      Suka

      • Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramudya Ananta Toer). Saya kira tepat ungkapan ini. Upaya konservasi yang lintas generasi perlu dokumentasi, yang memastikan pembelajaran saat ini dibaca, dipelajari, dianalisis, dan dapat diambil pelajaran darinya oleh pembacanya puluhan tahun ke depan. Dari NTT, semoga akan lahir catatan-catatan baru tentang pentingnya pendekatan psio-socio culture dalam kelola kawasan konservasi. Terima kasih atas dukungan Mas Suer dalam upaya-upaya awal gerakan konservasi di NTT…..(selamat menjalankan ibadah puasa di Ramadhan 1434 H)….//Wiratno

        Suka

Tinggalkan komentar