Prahara di Kawasan Ekopolitik Leuser


Sejak akhir tahun 2006, ada perkembangan menarik dalam dunia konservasi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yaitu terbentuknya Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) Wilayah Aceh. Badan non-struktural yang bertanggungjawab kepada Gubernur itu dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur NAD No. 52 tertanggal 28 Nopember 2006, tepat 13 hari menjelang Pemilu Gubernur NAD. Kemudian pada 16 Pebruari 2007, ketua & sekretaris BPKEL ditetapkan oleh Gubernur NAD.

Melalui surat tertanggal 22 Pebruari 2007, Gubernur NAD menyampaikan terima kasih kepada Menteri Kehutanan yang telah bekerja keras mengelola KEL dan memberitahu bahwa BP-KEL merupakan pengganti lembaga teknis yang selama ini mengelola KEL, yaitu Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai, dan Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan.   

Tidak adanya respon dari pihak Dephut, mendorong Ketua BP-KEL mengadakan konferensi Pers di Banda Aceh tanggal 23 Maret 2007. Ketua BP-KEL meminta seluruh unit pelaksana teknis di lingkungan Dephut menghentikan kegiatannya di KEL. Lebih jauh lagi, sarana dan prasarana yang ada harus segera diserahkan kepada Pemerintah NAD.

Rentetan peristiwa itu tentu membuat geger pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengelola KEL, terutama Balai TNGL dan YLI (Yayasan Leuser Internasional). Pihak yang pertama geger karena sebagai unit pelaksana teknis pengelola taman nasional, tak pernah dilibatkan dan diajak bicara mengenai rencana adanya BP-KEL tersebut. Pihak yang kedua geger karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1998, ditunjuk sebagai mitra Pemerintah Pusat untuk mengelola areal yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser. Sementara pihak lainnya bingung, hendak kemana mereka berkoordinasi?

 

Terbentuknya KEL

Untuk pertama kalinya, istilah Kawasan Ekosistem ditemukan di dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 227/1995 yang memberikan hak pengelolaan KEL kepada YLI (badan hukum Indonesia) selama tujuh tahun. Kawasan yang meliputi taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi itu dikelola sesuai fungsi kawasan hutan. Pengawasan pengelolaan KEL dilakukan oleh Kepala BTNGL dan Kanwil Kehutanan (waktu itu Kanwil belum dilikuidasi) dan Dinas Kehutanan.

Definisi KEL ditemukan di dalam Keputusan Presiden No. 33/1998, yaitu wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh faktor-faktor bentangan alam, karakteristik khas dari flora dan fauna, keseimbangan habitat dalam mendukung keseimbangan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor-faktor khas lainnya sehingga membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri yang disebut Ekosistem Leuser. Menurut Kepres itu, KEL seluas 1.790.000 ha dikelola Pemerintah Pusat bekerjasama dengan YLI atas dasar Persetujuan Kerjasama Pengelolaan antara Menhut dan YLI. Kerjasama itu mencakup kegiatan perlindungan dan pengamanan, pengawetan, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari. Sayangnya, persetujuan kerjasama itu tak pernah ada tapi kegiatan terus berjalan sesuai interpretasi bahwa YLI adalah pengelola KEL.

Setelah dilakukan tata batas di KEL, terbitlah SK Menhut No. 190/2001 yang mengesahkan tatabatas KEL di NAD seluas 2.255.577 ha. Sedangkan KEL di Sumut seluas 394.294 disahkan berdasarkan SK Menhut No. 10193/2002. Total luas KEL pun berubah menjadi 2.639.871 ha. Di dalam dua SK itu disebutkan luas TNGL adalah 602.582 ha di NAD dan 226.903 ha di Sumut. Padahal luas TNGL berdasarkan penunjukan SK Menhut No. 276/Kpts-II/1997 adalah 1.094.692 ha. Ada perbedaan yang signifikan.

Meskipun upaya konservasi mencakup ekosistem, spesies, dan genetik, namun peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengenal “Kawasan Ekosistem” sebagai kawasan konservasi. Undang-undang membagi kawasan konservasi menjadi Kawasan Suaka Alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman buru). Adanya keputusan menteri dan keputusan presiden mengenai KEL, tidak serta merta menjadikan KEL sebagai kawasan konservasi. Dengan demikian, status perlindungan tetap mengacu pada status kawasan hutan yang ada di dalam ekosistem tersebut.

Secara normatif, KEL tidak lebih berupa areal kerja YLI sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan, bukan areal administratif konservasi. Kawasan konservasi yang berada di KEL seperti TNGL dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil tetap dikelola oleh Balai TNGL dan BKSDA sebagai unit pelaksana teknis di dalam KEL sebagaiman diatur di dalam UU No. 5/1990 pasal 16 dan 34.

 

Legitimasi BP-KEL

Perkembangan yang mendasar terjadi setelah diundangkannya UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 150 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Pusat menugaskan Pemerintah Aceh (Catatan: UUPA menggunakan kata Aceh, bukan NAD) untuk mengelola KEL di wilayah Aceh.  Hal itu diinterpretasikan tidak belakunya lagi Kepres No. 33/1998 sehingga terjadi kevakuman pengelolaan KEL. Atas dasar itu, Pj. Gubernur NAD menerbitkan Pergub mengenai BP-KEL Aceh. Pergub itu terbit dengan nuansa ketergesaan sehingga tidak menunggu terpilihnya gubernur NAD yang baru, bahkan tanpa ada konsultasi dengan Balai TNGL yang sebagian besar lokasinya berada di KEL Aceh.

Kehadiran BP-KEL untuk mengelola dan meningkatkan manfaat KEL Aceh bagi kesejahteraan rakyat tentu harus ditanggapi secara positif. Tujuan mulia itu tentu juga harus dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khsususnya di bidang kehutanan dan konservasi. Oleh karena itu, layak kita bertanya apakah pembentukan BP-KEL sudah sejalan dengan semangat UUPA yang menjadi induknya dan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konservasi?

Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, atau komisi dengan persetujuan DPRD NAD, kecuali yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Tatacara pembentukan lembaga/badan/komisi tersebut harus diatur di dalam Qanun Aceh (setara Peraturan Daerah). Pasal 242 UUPA menyatakan bahwa Peraturan Gubernur hanya diterbitkan jika diperlukan sebagai pelaksanaan Qanun. Selanjutnya, pasal 270 ayat (2) menegaskan kembali bahwa kewenangan Pemerintah Aceh untuk melaksanakan UUPA diatur dengan Qanun Aceh. Lalu apakah sudah ada Qanun Aceh sebagaimana dimaksud pasal 10 dan 270 UUPA? Jika belum, maka pembentukan BP-KEL melalui Pergub telah mencederai amanat UUPA.

Sementara itu, pasal 270 ayat (1) yang terkait dengan pasal 7 UUPA mengenai kewenangan pemerintah pusat diatur melalui PP. Saat ini, sudah ada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Kewenangan Pemerintah Pusat yang Bersifat Nasional di Aceh. Terdapat 31 bidang kewenangan pemerintah pusat yang diatur di dalam RPP tersebut termasuk bidang Kehutanan. Kewenangan-kewenangan itu dapat dilaksanakan sendiri, dilimpahkan atau ditugaskan sebagian kepada Pemerintah Aceh. Namun keberadaan TNGL, satu-satunya taman nasional di Aceh saat ini, justru tidak disinggung keberadaan dan pengaturannya di dalam RPP tersebut. Padahal pasal 149 ayat (2) UUPA mewajibkan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota untuk melindungi taman nasional di Aceh.

 

Ekopolitik di Ekosistem Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di propinsi NAD dan Sumatera Utara diumumkan pertama kali pada tanggal 3 Maret 1980 berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/III/1980. Pengelolanya adalah Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam Gunung Leuser di bawah Balai KSDA I Medan hingga terbentuknya Balai TNGL tahun 1984. Pada tahun 1981 TNGL ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Status global TNGL meningkat menjadi bagian dari situs Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra atau TRHS) tahun 2004.

Sebagai keputusan politik, kelahiran KEL tak mungkin ditolak oleh siapapun pada saat itu. Pengelola KEL yang membentuk Unit Manajemen Leuser merasa lebih berhak mengatur, termasuk di kawasan TNGL. Sementara Balai TNGL juga memiliki tugas pokok dan fungsi melindungi dan mengelola TNGL. Meskipun dalam situasi “api dalam sekam”, keduanya masih berjalan sesuai dengan mandatnya masing-masing.

Ketika keberadaan YLI sebagai mitra pemerintah untuk mengelola KEL ditiadakan lagi secara politik melalui UUPA, keresahan kembali terjadi. BP-KEL ingin menggantikan posisi semua unit pelaksana teknis di KEL, termasuk TNGL tetapi tidak menyampaikan secara jelas status kawasan TNGL. Himbauan agar semua UPT di lingkungan Dephut segera menghentikan kegiatannya, dan menyerahkan sarana dan prasarana kepada Pemerintah NAD menjadi berkesan prematur. Pernyataan-pernyataan itu lebih berbau politik daripada semangat bermitra dalam konservasi.

Apabila TNGL tetap berstatus taman nasional, maka hal ini merupakan preseden dan menjadi satu-satunya taman nasional yang dikelola pemerintah daerah. Mengingat TNGL terletak di dua propinsi, apakah akan terbentuk TNGL I yang dikelola BP-KEL dan TNGL II yang dikelola Pemerintah Pusat? Jika demikian, maka statusnya sebagai TRHS memerlukan perjuangan lagi di forum World Heritage Committe. Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Warisan Dunia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 1989, tentu harus dapat memberikan klarifikasi dengan tegas.

Nah masalahnya, status Gunung Leuser sebagai taman nasional tidak pernah secara tegas di sebutkan di dalam Peraturan Gubernur Nomor 52 tahun 2006 tentang Pembentukan BP-KEL. Rancangan PP mengenai Kewenangan Pemerintah Pusat yang Bersifat Nasional di Aceh juga tidak mengindikasikan eksistensi TNGL. Bahkan secara tersirat, status TNGL di dalam KEL tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Sesungguhnya Kawasan Ekosistem Leuser lebih mirip dengan konsep cagar biosfer yang memadukan konservasi dan pembangunan lestari. Jika KEL dianalogikan sebagai cagar biosfer, maka TNGL merupakan zona intinya, hutan produksi sebagai zona pemanfaatan, dan hutan lindung sebagai zona penyangga. Dengan pendekatan itu, maka BP-KEL dapat lebih fokus pada kawasan di luar taman nasional yang luasnya mencapai 1,6 juta hektar.

Semangat UUPA yang ingin melindungi keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi, termasuk taman nasional harus didukung penuh. Bahkan UUPA juga melarang Pemerintah Pusat dan Pemerintah NAD untuk mengijinkan pengusahaan hutan di KEL Aceh. Sungguh kebetulan, Gubernur NAD yang pernah bekerja dengan LSM, memiliki semangat konservasi tinggi.  Dalam sejumlah kesempatan melantik Bupati, beliau mengharamkan illegal logging, bahkan sudah mencanangkan moratorium penebangan hutan di seluruh NAD.

Atas dasar pemikiran tersebut, kami usulkan beberapa hal. Pertama, menunda kehadiran BP-KEL hingga terbitnya Qanun Aceh sesuai amanat UUPA. Kedua, menerbitkan Qanun Aceh tentang BP-KEL secara partisipatif dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi dan kehutanan. Ketiga, BP-KEL mengelola KEL Aceh yang berstatus hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan hutan-hutan konservasi tetap dikelola oleh BTNGL. Keempat, terkait dengan pengelolaan KEL yang berbatasan dengan KEL Sumut, TNGL, dan SM Singkil, maka dilakukan kordinasi dalam bentuk forum atau konsorsium untuk memastikan sinergi pengelolaan pada tingkat regional.

Dengan pendekatan tersebut, kehadiran BP-KEL secara filosofis, yuridis, dan sosiologis dapat diterima oleh semua kalangan. Dengan semangat kebersamaan, kemitraan yang sejajar, dan transparansi, maka pengelolaan KEL sebagai satu kesatuan ekosistem diharapkan dapat terlaksana dengan efektif tanpa tumpang-tindih kewenangan dengan lembaga lain di KEL. Sementara itu, dukungan masyarakat internasional dan donor juga dapat mengalir dalam konteks ekosistem Leuser, TNGL, cagar biosfer, dan Situs Warisan Dunia

4 thoughts on “Prahara di Kawasan Ekopolitik Leuser

Tinggalkan komentar